Rezeki dan Dengki
Saat masih sekolah, pelajaran agama tentang merasa cukup, tidak iri hati, bebas dari dengki, dan bersabar terasa mengawang-awang. Nilai-nilai itu seperti asap di atas kepala—terlihat, tapi tak bisa kutangkap maknanya. Yang paling kuingat dari masa putih abu-abu adalah pelajaran tentang qanaah. Itu pelajaran yang paling mudah kupahami, sebab artinya hanya: merasa cukup. Sesederhana itu. Berapa pun rezeki yang Allah beri, kita harus bersyukur, tanpa gerutu atau protes. Rezeki, katanya, sudah ditakar sejak kita masih dalam rahim. Namun, ternyata butuh waktu bertahun-tahun—hingga aku bekerja, bertemu banyak orang, dan menikah—untuk benar-benar memahami makna qanaah. Saat itulah aku menyadari, alasan utama tubuh dan pikiranku bergerak setiap hari adalah untuk mencari rezeki. Aku tidak pernah muluk-muluk. Dalam hidup, aku hanya ingin cukup. Saat ini, asal istri dan anakku bisa makan dan hidup layak, hatiku sudah tenang. Aku tak mengejar baju atau sepatu bermerek, tak mendamba mobil atau moto...