STY Dipecat, Auto Susah Move On!
Lewat konferensi pers yang ditayangkan di Instagram resmi Erick Tohir, PSSI mengumumkan berita yang bikin hati banyak orang terhenyak: Pemberhentian Shin Tae Yong a.k.a STY. Imbasnya, Instagram Ketua Umum PSSI itu dibanjiri ratusan ribu komentar fans Timnas yang bertanya-tanya.
Mayoritas mereka menumpahkan kekecewaannya dengan berbagai bentuk komentar. Ada yang secara gamblang ngomong 'kecewa', ada juga yang dengan 'ngambek' bilang "Pokoknya, harus lolos Piala Dunia 2026!". Di hari itu, saya yang sedang di kantor juga kaget mendengarnya.
Karena memang, di bayangan saya saat ini, jika saya akan menonton Timnas besok, maka saya akan melihat sosok STY berdiri dengan melipat tangannya di depan bench, memberi air minum untuk pemain yang haus, memarahi mereka yang salah passing, sampai mengepalkan tangannya sambil berteriak tersenyum saat pemainnya mencetak gol.
STY didapuk sebagai juru taktik Timnas pada Desember 2019. Tahun depannya langsung pandemi. Otomatis proses ia melatih pemain-pemain Timnas terjeda. Tetapi, di akhir tahun, ia berhasil menembus final Piala AFF meski dikalahkan Thailand. STY saat itu membawa pemain-pemain muda, yang sebagian besar baru merasakan atmosfer Piala AFF. Tetapi, penampilan mereka kala itu sangat gemilang. Apalagi saat melawan Malaysia dan Singapura yang bikin jantung dag-dig-dug.
Di tangan dingin STY, Indonesia berhasil mengalahkan Kuwait, sekaligus melepas dahaga tak pernah menang di Kualifikasi Piala Asia selama 13 tahun. Di tangannya pula, sejarah lolos 16 besar tercipta. Pasalnya, selama ini, napas Indonesia di Piala Asia cuma bertahan di fase grup.
STY semakin disayangi segenap rakyat Indonesia setelah mengantar Timnas ke fase ke-3 Kualifikasi Piala Dunia. Sebuah pencapaian yang baru kali ini bisa diraih Timnas. Indonesia akhirnya bisa bersaing dengan raksasa-raksasa Asia seperti Jepang dan Arab Saudi. Hingga saat ini, Indonesia sementara menduduki peringkat 3 di grup C, di bawah Jepang dan Australia.
Bagaimana tidak sayang, berbagai hal yang biasanya kita bilang tidak mungkin, menjadi mungkin di tangannya. Biasanya, mental kita sudah jatuh kala bertanding dengan negara-negara yang jauh di atas kita, tetapi sekarang, tidak lagi. Bahkan, mental para penonton juga sudah berbeda. Dulu, saat era kegelapan, semuanya sama sekali tidak menaruh harapan pada Timnas. Jangankan di level dunia, level AFF saja kita tergopoh-gopoh.
Kini, negara sekaliber Australia pun kita tantang. Argentina juga diminta datang karena Australia dipandang terlalu remeh.
Semua kebanggaan dan keceriaan itu terganggu lantaran pengumuman itu. Kita sedang berada di tengah-tengah perang, kenapa mengganti panglima? Apa pelatih baru tidak butuh waktu meracik strategi untuk melanjutkan perang? Apakah waktu dua bulan setengah, cukup untuk mematangkan tim? Apakah chemistry pemain dan pelatih bisa terbangun dalam waktu dua bulan? Pertanyaan-pertanyaan itu pasti muncul di benak para pencinta Timnas yang benar-benar mencintai Timnas.
Batin saya sendiri di hari itu juga sangat terganggu. Sebab, sejak sakit hati di Piala AFF 2010, Timnas tak pernah lagi memuaskan. Di tangan STY, semua harapan dan mimpi itu seolah mudah digapai. Tapi, kenapa selalu ada saja halangannya? Saya mengutuk keadaan dengan berkomentar di salah satu fanspage Timnas: "Capek gua berharap sama Timnas dari dulu".
STY di bayangan saya bukan cuma pelatih, tetapi seorang bapak yang sangat dekat dengan anak-anaknya. Saya tak pernah lupa setiap kali menang, STY diangkat-angkat oleh para pemain, kepuasan dan kelegaan jelas sekali terpatri di wajahnya. Tak pernah lupa bagaimana ia bercanda dengan Marselino Ferdinan di setiap momen.
Terbayang juga waktu ia mengalahkan Korea Selatan di Piala Asia u-23. Tentu sangat sulit baginya menjadi 'lawan' bagi negara sendiri. Tetapi, semua itu dilalui demi profesionalisme. Ia pun merasa puas dan bangga pada pemain-pemain Timnas yang telah menunjukkan kegigihan.
Kini, tidak ada lagi wajahnya di pinggir lapangan setiap kali Timnas main. Tidak ada lagi harapan yang tertaruh di tangannya saat tertinggal skor terlebih dulu. Tidak ada lagi ekspresi itu, kemarahan itu, tawa itu, bercanda itu.
Sungguh rasanya seperti pacaran yang tiba-tiba putus saat sedang sayang-sayangnya, karena tak direstui orang tua. Seperti ada sesuatu yang tidak selesai. Ya, seperti belum selesai.
Kita dipaksa move on dan melupakan kenangan-kenangan 4 tahun itu. Kenangan kemenangan dan kekalahan, perjuangan, tangis, tawa, kebanggaan, nasionalisme, dan semua hal yang hanya bisa kita saksikan dalam sepakbola.
Dan akhirnya, kita hanya bisa berharap, semoga hari-hari Timnas ke depan lebih gemilang. Seperti saat kita bisa melupakan Luis Milla.
Komentar
Posting Komentar