Kapan Kita Menjadi Orang Lain?
Di sana, di dalam lorong gelap itu, ia menemukan ketidakberartian. Hal-hal yang menurut khalayak umum tidak pantas berdiri di tubuh seorang lelaki. Berbagai macam bayangan masa lampau ia temukan satu-satu.
"Assalamu'alaikum, gas!
"Assalamu'alaikum, cai!" (sunda)
"Tolong parkirin mobil itu bisa, gak?"
"Pak, tolong pakuin ini, pak!"
"Pak, tolong beliin galon"
"Kenapa telat, pak?"
"Tidur jam berapa semalam?"
Tak ada satu pun permintaan yang dapat dijawab, kecuali dengan waktu yang cukup lama dimakan renungan. Permintaan sederhana yang kujawab dengan ragu-ragu dan--sedikit--rasa ingin kabur. Sejauh inikah dunia? Atau aku yang terlambat mempelajarinya?
Muda-mudi memajang gambarnya di media, dengan senyum dalam bebannya masing-masing. Setahu itukah mereka pada dunia? Sebisa itukah mereka memasang tabung gas, mengikat benda, merajut kabel-kabel, memaku dinding, dan ngoprek barang-barang elektronik?
Tapi kini berdiri di sampingku seorang perempuan yang ingin kuselamatkan dan kuberi rasa aman. Pantaskah? Sedang di dalam tubuh yang sunyi ini, tertegun rasa ragu seperti fosil babi purba yang mati menatap satu arah.
Namun ia adalah penyelamatku. terbuat dari debu serta juga air mata, yang rela menemani seorang tua dengan ketakutan kanak-kanak seperti ini. Aku tidak bisa hidup tanpa senyumnya, meski penyesalan kadang muncul membunuh setiap pagi yang selalu terlewat kutemui.
Ampun. Hanya kata ampun yang memenuhi lidahku. Kepada-Nya, kepadanya, kepada diriku.
"Kapan kita menjadi orang lain?" Apakah pertanyaan itu hanya perlu jawaban, atau tersisip perintah?
Komentar
Posting Komentar