Rezeki dan Dengki
Saat masih sekolah, pelajaran agama tentang merasa cukup, tidak iri hati, bebas dari dengki, dan bersabar terasa mengawang-awang. Nilai-nilai itu seperti asap di atas kepala—terlihat, tapi tak bisa kutangkap maknanya.
Yang paling kuingat dari masa putih abu-abu adalah pelajaran tentang qanaah. Itu pelajaran yang paling mudah kupahami, sebab artinya hanya: merasa cukup. Sesederhana itu. Berapa pun rezeki yang Allah beri, kita harus bersyukur, tanpa gerutu atau protes. Rezeki, katanya, sudah ditakar sejak kita masih dalam rahim.
Namun, ternyata butuh waktu bertahun-tahun—hingga aku bekerja, bertemu banyak orang, dan menikah—untuk benar-benar memahami makna qanaah. Saat itulah aku menyadari, alasan utama tubuh dan pikiranku bergerak setiap hari adalah untuk mencari rezeki.
Aku tidak pernah muluk-muluk. Dalam hidup, aku hanya ingin cukup. Saat ini, asal istri dan anakku bisa makan dan hidup layak, hatiku sudah tenang. Aku tak mengejar baju atau sepatu bermerek, tak mendamba mobil atau motor yang sedang tren. Untungnya, istriku memahami itu.
Aku juga merasa sedikit beruntung pernah menjadi guru—meski dulu sempat kumaki-maki profesi itu. Di sana aku terus-menerus belajar tentang ikhlas. Bekerja berjam-jam, mengangkat bangku dan meja ke lantai dua, mengecat pagar malam hari, mengoreksi ulangan secara manual—semua itu kulakukan dengan gaji Rp600.000. Tapi dari pengalaman itu, aku belajar: hidup tak melulu soal uang. Ada nilai lain yang lebih tinggi: kebijaksanaan, ketenangan, dan kesabaran.
Namun hidup membawaku pada kenyataan lain. Rezeki ternyata tak selalu menjadi urusan pribadi antara seseorang dan Tuhannya. Rezeki yang terlihat oleh mata orang lain bisa menimbulkan dampak sosial yang tak kuduga. Ia bisa jadi senjata setan yang menumbuhkan rasa dengki.
Aku tidak menyadari, atau mungkin tak peduli, kalau rezekiku bisa saja membuat orang lain iri. Tapi fenomena di sekitarku menunjukkan bahwa rasa iri itu nyata. Kadang muncul lewat candaan, sindiran, atau diam yang sengaja dibiarkan. Kadang dibungkus tawa, kadang jadi pembiaran.
Aku mengamati percakapan orang-orang tentang uang dan perputarannya. Aku melihat betapa ambisiusnya manusia saat berhadapan dengan uang. Betapa sensitifnya relasi sosial jika uang mulai jadi ukuran. Gara-gara uang, kawan bisa jadi lawan. Hubungan yang tampak akrab bisa berubah jadi perang dingin.
Sungguh, aku terlalu polos dalam urusan ini. Sejak dulu, aku tak ingin dikuasai uang. Yang kuinginkan hanya cukup—baik soal ekonomi, maupun lingkungan. Aku ingin bekerja tanpa harus mengorek-ngorek semua sudut meja demi tambahan penghasilan. Aku ingin pulang sore, gajian di awal bulan, dan memastikan keluargaku bisa makan, minum, mandi, tidur, dan hidup wajar. Apakah kehidupan seperti itu sebegitu tak berharganya di mata orang-orang?
Akhir-akhir ini aku muak dengan nafsu orang-orang pada uang. Seolah mereka lupa bahwa rezeki tidak akan tertukar. Rezeki sudah digariskan. Kelapangan rezeki orang lain tak akan mempersempit milik kita. Apakah hanya sedikit orang yang benar-benar memahami itu?
Aku muak melihat orang berlomba menempuh segala cara demi uang. Menghalalkan segala yang seharusnya tidak dilakukan. Bermanuver politik hanya demi memperbesar pundi. Di kepalaku, aku membayangkan sekelompok buaya memperebutkan daging manusia.
Aku Tidak Sama
Sebelum aku mulai terusik oleh realita ini, aku tak peduli pada orang-orang yang bersaing atau saling menjatuhkan demi uang. Namun yang menggangguku sekarang adalah: aku dianggap sama hausnya.
Padahal aku tidak seperti itu. Aku tidak pernah memberi kode atau isyarat untuk mendapat uang tambahan. Aku berangkat ke mana pun karena diperintah, bukan karena aku yang meminta. Menjilat bukan gayaku.
Aku ingin menegaskan bahwa sejak dulu, aku percaya: qanaah adalah kunci. Dengki adalah sesuatu yang dibenci Tuhan. Rezeki memang harus dikejar, tapi dengan cara yang benar. Jangan merampas yang bukan hak. Jangan curiga pada rezeki orang lain, sebab keluasan rezeki seseorang tak akan mempersempit milik kita.
Yang aku inginkan hanyalah hidup damai. Hidup yang cukup, bersih, dan tenang—tanpa ambisi berlebihan, tanpa persaingan licik, tanpa lingkungan yang menjadikan uang sebagai penyulut permusuhan.


Komentar
Posting Komentar