Memasak adalah Seni, dan Seni adalah ledakan

Satu bulan tinggal di rumah.




Hari pertama, kuhabiskan siang untuk mengusir kecoa yang berhamburan dari lubang di kamar mandi. Malam pertama, menunggu ayah mertua memasang kompor, dan menyambungkannya ke gas elpiji. 

"Emang gak bisa masangnya?" kata ibu mertuaku, kujawab dengan senyum lempar. Yes. Senyum yang menutupi kelemahan. 

"Kalau bapak mah, gak bisa masang gas diomelin, lho!"

Senyum lempar itu berubah. Jadi senyum pahit. Di malam itu, aku menyadari satu hal. Sebanyak apa pun kukumpulkan uang untuk menikah, ke penjuru Indonesia mana pun, gas tetaplah gas, dan aku tetaplah aku. 

Aku dan istriku berdua di dapur setelah mereka pergi. Ia, sebagaimana perempuan yang baru saja menikah, menafsirkan bahwa dirinya harus memasak. Sementara aku, bergidik dan melamuni janji manis dan omong kosongku sebelum menikah, "aku bakalan masak."

Aku bisa memasak nasi goreng, atau membuat kue pancong. Atau kue-kue lain dengan menonton tutorial YouTube. Tapi soal memasang gas, satu tutorial pun tak pernah kutonton.

Istriku mengungkit omong kosongku tentang memasak tadi. Ia nampaknya baru mengenali ketakutanku (atau dari dulu ia tahu?) soal gas. 

"Soalnya, banyak berita tentang gas meleduk. Aku jadi takut."

Rentetan quotes tentang memasak menjejali otakku. Satu kalimat melayang di atas kepalaku, "Memasak adalah Seni".

Bukankah aku mengaku suka seni? Bukankah harusnya aku berani memasak--termasuk memasang gas?

Tapi satu quotes lain muncul di kening, Deidara bilang: Seni adalah ledakan.

Seketika. Aku takut lagi.


Komentar

Postingan Populer