Canawi dan 20 Kucingnya

 





"Puss.. puss..” Canawi memanggil kucing-kucingnya, dua puluh jumlahnya. Canawi menaruh satu piring berisi ikan bandeng dan sisa ayam yang ia makan tadi. Dielusnya satu persatu kucing-kucing itu. Seperti biasa, di tiap pagi, setelah makan dan menghisap dua batang rokok, Canawi memberi makan kucing-kucingnya.


Ia sangat mengenali kucing-kucing—yang bisa dibilang—gembel itu. Kucing-kucing itu ia temukan di berbagai tempat yang ia singgahi. Misalnya, Joko, kucing lusuh yang ia temui di Warung Boedi Siang Malam. Ketika Canawi pulang mencari sampah, kucing itu menggerayangi kaki Canawi. Mengikuti arah pulang, hingga menjadi bodyguard setiap kali Canawi bekerja. Atau, Santoso, kucing berwarna oranye bergaris-garis hitam, yang ia temui kala makan di Angkringan 77. Santoso dengan wajah memelas, meminta sesuap ikan kepadanya.


Canawi, entah kenapa, selalu menemukan kucing dalam 20 hari terakhir. Ada yang ia temukan hampir mati kelaparan. Ada yang ia ajak pergi sesaat setelah diusir penjaga toko. Ada pula kucing kecil yang mondar-mandir di pasar kehilangan ibunya. Namun uniknya, tidak ada yang kembar. Karenanya, mata Canawi yang mulai rabun masih tetap mengenali kucing-kucingnya.


Kucing kesayangan Canawi adalah kucing yang pertama kali ia jumpai, bernama Kobo. Nama Kobo merupakan plesetan dari majalah kanak-kanak yang ia temukan terbuang di pinggir jalan. Ia jatuh cinta dengan majalah itu: menyenangkan, ceria, dan penuh warna. Sebab, berbeda dari kucing-kucingnya yang lain, Kobo datang padanya dengan tertawa, segar, dan berbinar.


Kobo adalah pengecualian dari “gembel” kucing-kucing milik Canawi. Matanya tajam dan biru, bulunya bersih, ekornya amat lincah. Ia bergerak cepat di antara kucing-kucing lain yang pemalas. Kobo juga satu-satunya kucing yang berani maju ketika ular sanca mengintai rumah Canawi. Kobo menerkam ular itu sekali tangkap, dan memakannya hidup-hidup.


“Nenek pergi dulu, ya,” pamit Canawi pada kucing-kucingnya. Kucing-kucing itu mengeong bergantian, dan pergi mencari tempat masing-masing kecuali Joko, ia selalu ikut Canawi bekerja.


Karung sudah siap, pengail sudah sedia, tancap gas. Canawi berjalan di Desa Karangasih bersama Joko. Nenek berusia 70 tahun itu masih kuat berjalan meski urat-urat kakinya mulai menguning dan memberontak. Canawi mengail sampah demi sampah di pinggir jalan, sesekali Joko menggigit sampah-sampah itu dan memasukkannya ke dalam karung.


Ketika matahari mulai turun, Canawi beranjak pulang. Karung sudah penuh meski perut masih kosong. Canawi singgah di Warteg Anekarasa, membeli nasi dan lauk yang terbeli dengan delapan ribu rupiah. Sementara, lima ribu ia belikan satu paha ayam untuk kucing-kucingnya di rumah.


Tok, tok, tok.. glek. Canawi membuka pintu dan menaruh satu paha ayam. Satu persatu kucing-kucing mulai berdatangan. Namun, tiba-tiba, Canawi terkejut, wajahnya pucat, dan kepalanya dengan cepat menengok ke kanan-kiri mencari sesuatu.


“Mana Kobo?!” suara Canawi membesar. Ia beranjak dari tempatnya, ia buka semua lemari di rumah kecilnya. Ia obrak-abrik tumpukan baju dan sampah-sampah, ia cari di setiap ruangan. Nihil. Kobo hilang.



---


Kobo dan 13 Kucing Betina


Adalah Suryati, kucing oranye yang mencuri hati Kobo. Dengan tatapan mata Ariel Tatum, Suryati melenggang merayu Kobo. Kobo terkesiap, lantas ekornya tegak serupa kaktus di padang tandus. Kobo mengendus, menciumi aspal dan angin yang dilewati Suryati. Suryati berhenti di depan warung Batak dan menengok sebentar ke arah Kobo.


“What do you want?” ujar Suryati berbahasa Inggris.


Seketika, bulu-bulu Kobo terbangun dan mulai melakukan jurus seribu bayangan, lalu dengan kuat mengangkangi kucing milik Ibu Sarah itu. Digigitnya pundak Suryati yang meraung. Kuku-kukunya yang tajam menggaruk-garuk tanah. Seperti gunung yang ingin meletus, Kobo mengeluarkan sejuta peluru yang tersimpan lama di kantung kejantanannya. Suryati terguling-guling di tanah, seperti merasakan satu nikmat yang tak pernah ia temui, bahkan dari seribu Whiskas mana pun di dunia. Kobo tertegun, mata kuningnya menatap nanar. Suryati melenggang pergi, mengayun-ayunkan ekor lembut hasil perawatan tiap Minggu sore di salon kecantikan khusus kucing.


Kobo masih menjilati tangan-tangannya sendiri. Tak pernah, sama sekali tak pernah, ia melepaskan hasrat kebinatangannya. Suryati jadi cinta pertamanya. Ia pergi membawa bahagia dan kepuasan dalam batinnya. Bulu-bulunya seperti muda kembali, lidahnya memerah, dan telinganya berdiri segar.


Kobo pun terus berjalan, hingga ia melintasi sebuah perumahan, perumahan paling elit di Karangasih. Di sana, pasar amat bersih tak seperti pasar-pasar kumuh di daerahnya. Buah-buahan, ikan-ikanan, dan sayur-sayuran hijau amat sedap dipandang. Namun, bukan ikan-ikan itu yang mencuri perhatiannya, ia lebih suka ikan tembang terbuang di tempat sampah, atau kecoa yang telentang menunggu ajal. Adalah kucing Anggora dengan ekor terjuntai lebat berayun-ayun. Anggora itu tengah dituntun seorang perempuan kecil.


Anggora itu, Laras namanya, semakin sempurna dengan kalung permata yang menggantung di lehernya. Kobo memandangnya dari jauh. Inilah kebebasan. Kobo mulai berlari dan menggerayangi Laras. Perempuan kecil itu terkejut dan coba mendamprat Kobo dengan apa pun yang ada di sekitarnya. Kobo bergeming. Tubuh lincahnya melompat-lompat, suaranya menggeram kencang, dan tangan mungilnya mulai meraih tubuh Laras. Tali di genggaman perempuan kecil itu terlepas, Kobo membawa Laras pergi jauh menembus kerumunan lalu lalang manusia. Ia membawa kucing betina itu ke pinggir sebuah gentong dan mulai melakukan aksinya.


Seperti biasa. Kucing betina itu menggeliat dan berguling-guling di tanah, Kobo membisu beberapa detik dan langsung melengos tanpa sepatah kata pun. Demikianlah hari demi hari berlangsung, total 13 kucing ia gerayangi. Namun, kesenangan masa muda dan kebebasan, seperti semua hal di dunia, tidak berlangsung lama. Di hari ke-7 Kobo pergi dari Canawi, setelah menyetubuhi belasan kucing, Kobo terjangkit virus.


Virus itu melahap sel-sel dalam tubuh Kobo, lendir ingus membasahi hidungnya. Bulu-bulu yang segar itu, kini kuncup seperti bunga yang layu. Setiap malam ia tertidur di pinggir jalan, sendirian. Setiap pagi, ia mencari sisa-sisa makanan, berburu cecak atau kecoa, bila beruntung melahap tikus.


Sore mulai menguning, matahari turun perlahan. Sinarnya berpendar menerpa wajah kucing tampan yang sudah kehilangan gairah itu. Kobo teringat seseorang yang merawatnya, yang ia tinggalkan berhari-hari, yang ia lupakan demi mencari kebebasan. Wajah Canawi, serta rumah rongsok itu, terngiang di ingatannya. Ia berjalan, langkah demi langkah, menyusuri pasar dengan gemuruh riuh manusia-manusia, melewati genangan air hujan, menyentuh baju demi baju yang bergantungan. Dan, matanya kemudian menatap ke depan. Berdiri di depannya, rumah rongsok itu. Ia lanjut berjalan, dan masuk mencari-cari nenek 70 tahun itu.



---


Langit gelap telah muncul ketika Kobo melangkahkan kaki ke dalam pintu rumah rongsok itu. Kobo terkejut, melompat kecil saat tiba-tiba lalat merasuk ke hidungnya. Lalat itu bertambah banyak. Kobo yang tengah sakit terus menyusuri seluruh ruang dalam rumah itu. Melawan lalat demi lalat dan bau busuk yang tak seorang pun bisa menahannya.


Kobo tercekat.


20 kucing menggerayangi tubuh Canawi yang bermandikan darahnya sendiri. Kucing-kucing itu memakan bagian demi bagian tubuh Canawi. Joko, pengawal setia, dengan penuh nafsu menjilati bola mata yang mulai keluar dari wadahnya. Wajah Canawi, rusak tak berbekas. Jari-jemarinya buntung sebab kucing-kucing itu menggigitinya.


Kobo masih tercekat melihat pemandangan itu. Ia berlari, berlari keluar rumah, tak peduli sakitnya sudah terasa di kerongkongan. Ia berlari hingga mobil pick-up meluncur dari sisi kiri dan menghajar tubuh kucing gontai itu. Darahnya memenuhi sebagian aspal jalanan. Setiap bagian dari nyawa seperti dicabut satu-satu. Kobo kehilangan napasnya, pandangannya kosong. Tersengal-sengal, lalu diam. Terus diam.


Oleh: Muhamad Ramdhan

Pernah tayang di paraminda.com


Komentar

Postingan Populer