"cukup"
ada yang tak perlu ditabur dengan puisi,
cukup berpikir,
lalu berniat menulis,
lalu urung.
21.1.23
22.40
Ia sudah tersimpan dalam buku,
senyumnya terpatri dalam diksi yang kutulis dalam gelap
dalam sendiri
dalam kedalaman yang paling dalam
dalam pikiranku sejak patah hati pertama
dihancurkan tangannya
"Kau selalu memilih untuk memilih,
Diterbangkan gemerlap bintang yang ramai, kau tunduk seketika,"
8123
Aduh
Oleh : Muhammad Ramdan
Di dadaku kini terdengar debur jeritan,
yang meronta-ronta memohon kesudahan dari kesusahan
Di sudut jiwaku kini terdengar sayatan besi, mengikis pelan-pelan
Sementara senyum bagaimana yang kautebar di jalan-jalan?
Tawa bagaimana yang kautabur dalam geming abadi
Dalam kebodohan abadi?
Aku membawa ini,
Sekarung penderitaan tahunan lamanya
Menimpaku di antara riak sedih dan tawa
Menusuk kepalaku ketika terkulai dan kalah
Menembus tulang tanganku yang sepi menggapai-gapai
Sementara bahagia mana yang kaukecup di deretan bunga yang kaubangga-banggakan itu?
Sementara kebanggaan bagaimana yang kaupamerkan di depan pintu kesenangan?
Aku menopang ini,
Gemuruh yang mengganggu tidur dan badai yang menolak lipur
Serangkaian luka merobek tajam di kulitku yang pernah menyentuhmu selembut itu
Serangkaian duka merogoh tajam di hatiku yang pernah menyayangimu sebegitu
Sementara kerlipan bagaimana yang kausebar di langit malam?
Sementara tanaman mana yang kautuai dan kaunikmati pada sore yang berangin?
...
Komentar
Posting Komentar